Matahari baru saja muncul dari balik awan gelap, mengintip perlahan
malu untuk menampakan wujud aslinya. Awan gelap masih menguasai sebagian
besar langit hari ini, sinar mentari yang cerah pun ragu untuk
menunjukan kilaunya.
Tak ku sangka dalam pertemuan yang tidak terduga, di tempat kerja
yang baru ada seseorang yang telah lama ku kenal namun tak pernah jumpa.
Sudah sepuluh tahun lamanya kami tak bertemu, mungkin ia sudah lupa
akan rupaku. Namun aku tahu betul yang kulihat di hadapanku kini
merupakan seorang sahabat yang sangat ku rindukan.
Tubuhnya yang tinggi kekar dengan mata yang tidak terlalu besar dan
rambutnya yang berwarna cokelat, merupakan ciri khasnya yang paling
sering ku ingat. Saat kuperhatikan, Ia sedang duduk menatap serius layar
komputer di hadapannya tanpa menghiraukan keberadaanku yang sudah
berdiri tepat di depannya.
Pantulan cahaya terang yang berasal dari
layar komputernya begitu tertera jelas di wajahnya yang masam. Aku dan
dia hanya dipisahkan oleh papan bilik yang tingginya tidak mencapai
wajahku. Kemudian ku lihat di atas meja kerjanya terpampang sebuah papan
nama yang bertuliskan Akmal Mashar, S.Ikom (Manajer). Setelah melihat
papan nama tersebut barulah aku tahu betapa penting posisinya di kantor
ini.
Ku coba menerka apa yang sedang dipikirkannya. Ia terlihat tampak
begitu serius menatap lekat-lekat pada layar komputer yang ada di
hadapannya. Kedua matanya yang sipit terlihat begitu merah, dan kantung
matanya berwarna hitam pekat. Ku pikir ia sudah berhari-hari tidak
merasakan nyenyaknya tidur.
Lalu ku coba memberanikan diri untuk menyapanya walaupun aku tidak
yakin karena kami sudah lama tak bertemu, dan aku meragukan ia masih
ingat akan diriku.
“Hai Mal!” sapaku. Sayang sapaan pertama tidak berhasil mengalihkan
perhatiannya dari teknologi canggih yang ada di depannya. Aku mencoba
menyapanya lagi.
Dengan nada yang ceria dan sedikit sok akrab aku mulai mengeluarkan
suara. “Maaf Pak, Apakah ini benar dengan Pak Akmal Mashar yang asalnya
dari Bogor?”
Aku sungguh berharap ia kali ini benar-benar menatap ke arahku.
Kemudian ku lihat gerakan kecil dari yang mencoba menengok ke atas.
Akmal pun menatapku lekat-lekat, tatapannya begitu tajam seperti orang
yang hendak marah. Apakah aku melakukan kesalahan karena sudah berani
menganggunya?
Ia menatapku lekat-lekat, matanya makin mengerenyit dan kini yang
kulihat hanyalah mata yang tampak segaris. Sepertinya ia mencoba
mengingat siapa diriku. Rasanya aku malu dan tidak percaya diri, akankah
ia masih mengenaliku seperti yang dulu?
Sesuatu terjadi dengan tatapan matanya, air muka Akmal menjadi lebih
tenang. Alis yang sejak tadi aku perhatikan naik ke atas kini mulai
menjadi biasa. Akmal menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. Sebelum ia
sempat berbicara kepadaku, aku memutuskan untuk mencoba menyapanya
sekali lagi.
“Hai Akmal. Masih ingat denganku?” kata ku.
“Tentu saja! Suara yang begitu ku rindukan. Violin!” jawabnya.
Syukurlah wajahnya berubah menjadi sangat ceria dibandingkan sebelumnya.
Aku lega karena ia masih mengingatku dan juga namaku. Yang paling
membuatku senang ialah ia mengatakan ia sangat merindukan suaraku,
apakah sebegitu indah suaraku ini? kemudian Aku memberitahunya bahwa
mulai hari ini aku bekerja di kantor yang sama dengannya dan di divisi
yang sama dengannya. Setelah mengobrol sebentar, aku pamit menuju meja
kerja baruku yang letaknya tak jauh dari meja kerja Akmal.
“Bagaimana nanti kita istirahat bareng? Aku akan memberitahumu banyak hal.” Kata Akmal. “Baiklah.” Kata ku.
Aku dan Akmal yang sempat dipisahkan oleh ruang dan waktu yang cukup
lama tak butuh waktu lama untuk bisa kembali akrab. Setiap hari selama
bekerja, kami selalu menghabiskan waktu bersama saat jam makan siang.
Banyak hal yang ia ceritakan padaku. Sama seperti dulu, ia dengan
kepintarannya selalu membuatku terpesona. Sebagai pria ia sangat
menjunjung tinggi feminisme. Ia ta keberatan harus membela hak-hak kaum
hawa, ia berani menunjukan kegarangannya jika melihat wanita dilecehkan.
Selama sepuluh tahun ini Akmal tak banyak berubah, itulah yang membuat
aku jatuh hati padanya sejak dulu.
Berdasarkan ceritanya, ia hingga kini belum menikah sama sepertiku.
Ia pun bercerita belum menemukan pendamping yang tepat untuk hidupnya.
Pernah pada suatu hari, ia merasa ia sudah menemukan jodoh yang selama
ini ia cari, namun sampai pada suatu saat kekasih yang sangat
dicintainya itu meninggal akibat kanker.
Aku turut berduka atas kehilangan yang dialami Akmal. Namun di satu
sisi aku merasa bahagia karena saat ini ia bukanlah milik siapapun.
Mengetahui hal tersebut, hasrat ingin selalu bersamanya dan ingin di
dekatnya pun kian meninggi. Sebenarnya aku mengetahui perasaan Akmal
terhadapku hanyalah sebatas sahabat saja tidak memiliki ekspetasi yang
terlalu tinggi. Tetap saja perasaan ini tak bisa terbendung, aku selalu
mengaguminya sejak dulu namun karena aku dan dia adalah sahabat baik,
aku tidak berani menunjukan apalagi mengungkapkan perasaan padanya.
Jika bisa, aku ingin menghilangkan perasaan berlebih ini dan
mengalihkannya menjadi perasaan hanya sebagai seorang sahabat. Tetapi
itu tidaklah mudah. Sangat sulit bagiku menghilangkannya, karena setiap
saat, setiap hari dan setiap waktu aku selalu saja bertemu dan mengobrol
banyak hal dengannya.
Aku bukanlah orang yang mudah jatuh hati kepada pria, sudah beberapa
pria yang dikenalkan kepadaku oleh teman maupun orang tua tetapi aku
menolaknya karena aku memang tidak merasa nyaman dengan hal-hal seperti
itu. Pengalaman pahit soal cinta yang pernah aku alami terjadi sekitar
beberapa tahun yang lalu, aku sangat menyanyangi kekasih ku tersebut
tetapi beberapa tahun kemudian ia memutuskan hubungan dengaku tanpa
sebab yang jelas. Dari situlah aku mulai menutup diri dengan pria-pria
yang mencoba ingin berkenalan denganku.
Enam bulan kemudian, datanglah seorang karyawan baru di tempatku
bekerja. Tubuhnya tinggi semampai, tinggi tubuhnya itu semakin terlihat
tinggi saat ia menggunakan sepatu high heels berukuran 12 cm.
Wanita itu
memiliki rambut hitam bergelombang dengan memakai pulasan bibir
berwarna merah menyala bibirnya sungguh terlihat seksi membuat pria-pria
yang ada di kantorku ini begitu tergoda. Walaupun ia memakai kacamata
itu tidak membuatnya tampak culun.
Selidik punya selidik ternyata wanita bernama Sofia tersebut adalah
istri termuda dari bos perusahaan, ia baru saja dipindahkan dari kantor
pusat dan kini ia menduduki posisi kepala keuangan di kantorku.
Aku, Akmal dan Sofia kini mulai berteman akrab. Walaupun Sofia berada
di divisi yang berbeda dengan aku dan Akmal namun ia sangat ramah dan
mudah berbaur dengan karyawan lain, tak sedikit orang di kantorku kini
ingin mengenalnya lebih jauh. Aku pun turut senang mendengar kabar baik
tersebut.
Rintik hujan di sore hari mulai berjatuhan, Aku dan Akmal sedang
duduk di pojok sebuah kafe sembari menikmati coffe latte yang hangat.
Kami memutuskan untuk berdiam sejenak sambil menunggu hujan mereda.
Kulihat keluar jendela, riuh kendaraan memenuhi badan jalan, macetnya
jalan tidak bisa dihindari. Hujan di luar tidak menunjukan akan segera
mereda. Kulihat di seberang jalan terdapat anak kecil berumur sekitar
enam tahun sedang memegang erat payung besarnya yang berwarna biru muda.
Wajahnya terlihat sedih, mata besarnya melihat keadaan di sekelilingnya
seperti sedang mencari seseorang, apakah ia terpisah dari orang tuanya?
Sebelum aku sempat berdiri dari kursi empuk berwarna abu-abu untuk
menolong anak kecil itu, ku melihat ada seorang wanita yang
menghampirinya. Wanita yang membawa payung berwarna-warni. Sang anak
kemudian tersenyum dan kemudian mereka pergi bersama-sama bergandengan
tangan. Syukurlah pikirku.
“Menurutmu bagaimana dengan Sofia?” pertanyaan Akmal langsung memendarkan lamunanku. Mengapa ia bertanya tentang Sofia?
“Dia baik, walaupun ia istri bos tetapi tidak terlihat bahwa ia sudah memiliki suami.” kata ku.
“Oh begitu,” ucap Akmal. “Mengapa?” tanya ku.
“Tidak apa-apa.” jawab Akmal singkat.
“Apa kau tertarik padanya?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terucap dari
bibirku. Aku sama sekali tidak berniat untuk menanyakan hal tersebut dan
aku sama sekali tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaanku
yang aneh itu.
“Tidak. Dia sama sekali tidak menarik perhatianku.”
—
Sinar mentari yang cerah membuatku semakin bersemangat. Hari ini aku
membawa kue kering cokelat hasil kerja kerasku semalam. Aku ingin
membagikannya pada Akmal dan Sofia, semoga saja mereka menyukainya.
Saat tiba di kantor, seperti biasa aku menyapa orang-orang kantor
dengan penuh senyuman, hal ini aku selalu lakukan agar tidak ada yang
membenciku. Ketika hampir di meja kerja, ku lihat dari kejauhan Akmal
dan Sofia sedang mengobrol bersama. Mereka tampak akrab dan terlihat
senang satu sama lain, ku pikir ini saat yang tepat untuk membagi kue
hasil buatanku kepada mereka. Namun kuurungkan niatku karena tidak ingin
mengganggu keakraban keduanya. Alhasil kusabarkan diriku sampai
waktunya pulang kantor.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, jam kerja telah usai saatnya aku
mampir ke meja kerja Akmal dan Sofia. Namun, ketika ku ingin menuju ke
meja kerja Akmal, aku tidak melihat sosok tubuh tinggi besar itu,
kulanjutkan dengan pergi menuju meja kerja Sofia yang letaknya agak jauh
dari divisiku. Bagian keuangan dan divisiku memang terpisahkan oleh
pintu besi berwarna hitam. Kubuka pintu divisi keuangan namun tidak
menemukan Sofia, aku hanya melihat beberapa orang keuangan yang sedang
bersiap-siap ingin pulang. Kemana Akmal dan Sofia pergi? Apakah mereka
semua sudah pulang? Apakah Akmal dan Sofia sudah pulang tanpaku? Tetapi
mana mungkin mereka sudah pulang? Toh barang-barang mereka masih ada di
mejanya masing-masing. Segera kusingkirkan pikiran-pikiran negatif yang
ada di kepalaku.
Kuputuskan untuk menunggu kedua teman baikku itu sampai mereka kembali ke meja mereka masing-masing.
Jam dinding yang memiliki warna keemasan dan gambar peta dunia di
dalamnya sudah menunjukan pukul enam sore, namun tak ada tanda-tanda
dari Akmal dan Sofia. Orang kantor yang lain pun sudah pergi yang
tersisa hanya aku dan tas Akmal yang masih berada di atas kursinya.
Aku mencoba menhampiri ruang divisi keuangan sekali lagi. Dengan
perlahan aku berjalan di bawah sinar lampu kantor yang hanya dinyalakan
beberapa buah saja. Kulihat kantor divisi keuangan nampak gelap. Kubuka
pintu baja berwarna hitam itu sehingga mengeluarkan bunyi “kreeek”.
Kemudian sesuatu yang tak ingin kulihat terjadi di hadapanku, dua
teman baikku di kantor sedang asyik bercumbu. Mereka terlihat begitu
menikmatinya sampai-sampai mereka tak menyadari keberadaanku.
Jari-jari tanganku lemas menjatuhkan toples kue cokelat yang
kubawa-bawa dari tadi. Mata ini tak hentinya mengeluarkan air mata tak
percaya dengan apa yang ada di hadapanku.
Aku termenung. Inikah yang kausebut “Tidak menarik perhatianku”?
Cerpen Karangan: Nurdea Purnamasari
Blog: bejurnal.blogspot.com