“Hebat! Berani sekali kamu membantah omongan Pak Haris tadi, Nina!”
decak Riri kagum pada Nina yang sedang asyik makan bakso di hadapannya.
“Harus dong, Ri. Kita-kita kan tidak salah ya jadi harus berani.
Memangnya guru harus selalu benar? Tidak kan?” balas Nina sambil
mengunyah dengan lahap.
Sesaat mata Nina tertuju pada sosok cowok tinggi yang sedang bermain
basket di lapangan dekat kantin. Putra, cowok yang dikagumi dan dicintai
Nina tanpa Nina tahu kenapa dia bisa jatuh cinta dengan cowok hitam
manis itu. Dulu hubungannya dengan Putra bisa dikatakan amat akrab
karena mereka sahabat sejak masih SMP dan sama-sama ikut ekstrakurikuler
basket. Namun karena ada sesuatu hal yang membuat Putra kecewa dan
marah, sampai sekarang Putra selalu menghindari Nina. Sebenarnya Nina
sangat terluka, tapi apa boleh buat semua itu memang salah dirinya.
“Eh Nin, kenapa bengong begitu? Entar kesambet jin baru tahu rasa, haha..” canda Riri yang membuyarkan lamunan Nina.
“Tidak apa-apa kok,” cengir Nina yang kemudian menyeruput jus jeruknya.
Riri adalah sahabat Nina sekaligus teman sebangku sejak masuk SMA dan
sekarang mereka sudah kelas XII yang berarti lebih kurang sudah tiga
tahun Nina dan Riri bersahabat. Akhir-akhir ini Riri terlihat akrab dan
dekat dengan Putra, membuat Nina merasakan sedikit kecemburuan. Tapi,
Nina mengikhlaskan kedekatan mereka karena Riri adalah sahabatnya.
***
Sudah enam hari Nina tidak masuk sekolah dikarenakan dirinya harus
beristirahat di rumah sesuai anjuran dokter. Saat Nina kelas 2 SMA, dia
sempat mengalami pingsan ketika bermain basket, setelah dibawa ke rumah
sakit oleh mamanya, baru diketahui ternyata telah tumbuh tumor di otak
Nina. Tumor itu belum bisa diangkat sampai sekarang karena belum ada
dokter dan rumah sakit mana pun yang sanggup. Selama lebih kurang satu
tahun Nina harus menjalani hidup dengan tumor di otaknya dan tak jarang
Nina merasakan sakit yang teramat di kepalanya dan sesekali pingsan.
Mama Nina bolak-balik dengan perasaan cemas di depan kamar Nina. Saat
ini dokter sedang memeriksa Nina yang terbaring lemah di kamarnya
setelah jatuh pingsan dua jam yang lalu.
“Dok, bagaimana kondisi Nina sekarang? Nina masih bisa diselamatkan?”
tanya mama Nina hampir menangis setelah dokter keluar dari kamar Nina.
“Tumor di otak Nina sudah membesar. Saya sudah menghubungi salah satu
rumah sakit di luar negeri dan tinggal menunggu jawabannya. Setelah itu
kita siap untuk membawa Nina ke sana dan melakukan operasi pengangkatan
tumor. Saat ini yang terpenting, Ibu harus tetap menjaga dan mengawasi
kesehatan Nina. Jangan sampai Nina banyak pikiran karena dapat
menyebabkan otaknya tertekan sehingga tumor akan semakin mengganas!”
jelas dokter.
Sepulangnya dokter, mama Nina langsung menuju ke kamar dan membelai anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Ma, besok Nina sekolah ya. Nina ada ulangan matematika,”
“Iya sayang, besok mama akan antar kamu ke sekolah asalkan kamu janji
sepulang sekolah harus segera pulang ke rumah dan jangan main basket
lagi!”
Nina mengangguk dan tersenyum. Mamanya mencium kening Nina dan menyuruh Nina untuk segera tidur.
***
Dengan senyuman manis, Nina menyapa mamanya yang lagi menyusun piring di meja makan. “Selamat pagi mamaku sayang,”
“Pagi juga cantik,” balas mama sambil mencium kedua pipi Nina yang panas.
Perasaan seorang ibu memang sangat peka dan ini dirasakan mama Nina saat
mencium dan memeluk Nina barusan. Rasa khawatir terhadap seorang anak
yang sudah dibesarkannya dengan kesendiriran karena papa Nina sudah
meninggalkan mereka menghadap sang Ilahi saat Nina masih duduk di
Sekolah Dasar.
“Sayang, apa kamu yakin untuk sekolah hari ini?” tanya mama sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Iya mama, Nina sudah merasa baikan. Lima hari di rumah saja cukup membuat jenuh, Ma.” jawab Nina serius meyakinkan mamanya.
Sesampainya di sekolah Nina mencari Riri, tak ditemukannya Riri di
dalam kelas. Tak mungkin jam segini Riri belum datang, biasanya Riri
datang lebih cepat dari dirinya. Tiba-tiba Nina teringat taman belakang
sekolah, Riri dan Nina sering duduk-duduk di sana sambil belajar atau
hanya sekedar mengobrol. Nina pun mengayunkan kakinya menuju taman
belakang.
Namun, saat telah ditemukannya Riri. Diurungkannya niat untuk
menghampiri Riri karena Riri sedang duduk berdua bersama Putra. Mereka
sedang mengobrol dan saling berpandangan, Putra memegang jemari Riri dan
mengecupnya. Melihat itu, Nina merasakan cemburu dan tanpa sadar
matanya mengeluarkan air bening. Tetapi dengan cepat perasaan itu dia
buang jauh-jauh dan berusaha untuk tenang. Nina kembali ke dalam kelas
dengan langkah yang cepat setengah berlari.
“Nin, kamu sakit apa? Lima hari kamu tak sekolah dan kata guru kita
kami tidak perlu menjenguk kamu, padahal aku ingin sekali ke rumah dan
melihat kamu,” kata Nina yang sudah kembali ke kelas.
“Aku cuma demam, Ri. Tak perlu dijenguk kok. Sakitnya kan tidak parah, hehee…” Nina menjawab dengan nada riang.
Nina memang merahasiakan penyakitnya kepada siapa pun. Hanya wali kelasnya yang diberitahu mama Nina mengenai penyakit Nina.
“Tapi aku merasa aneh, kok bisa kamu tidak masuk sekolah beberapa hari
hampir tiap bulan loh, Nin?” tanya Riri lagi dengan penasaran.
“Riri yang cantik, beneran deh aku tidak apa-apa. Percaya padaku ya!” mohon Nina sambil mengembungkan pipinya bercanda.
“Iya, iya. Percaya deh. Oh ya, aku ada kejutan buat kamu. Aku jadian
dengan Putra teman SMP kamu dulu itu Nin, tadi dia menyatakan cinta di
taman belakang!” jelas Riri yang matanya memancarkan kebahagiaan.
“Waw, selamat ya Riri! Aku ikut bahagia, kalian memang cocok. Putra
cakep, pintar main basket lagi dan kamu cantik juga baik hati. Traktir
aku ya,” canda Nina untuk menutupi rasa kagetnya.
“Mudahlah itu, selesai ulangan nanti siang kita bertiga makan bakso
kesukaanmu di kantin ya,” ujar Riri seraya mencuil hidung mancung Nina
yang hanya bisa nyengir lucu.
Nina tahu, Riri dan Putra memang telah dekat sejak Riri menjadi
anggota cheerleader tim basket Putra. Nina juga anggota basket namun dia
berhenti saat diketahui ada tumor di otaknya yang mengharuskan Nina
untuk mengurangi kegiatan. Nina tak menyangka Putra dan Riri akan
jadian. Tepatnya bukan tak menyangka tapi tak ingin. ‘Alangkah egoisnya
diriku jika merasa cemburu dan tak ingin mereka bersatu, aku harus rela.
Riri dan Putra sama-sama sahabatku. Jika mereka bahagia seharusnya aku
pun bahagia,’ batin Nina dalam hati.
***
Nina dilanda kesepian, sahabat terdekatnya di sekolah, Riri, sudah
tidak menemaninya seperti dulu. Tak lagi ke kantin, ke perpustakaan,
pulang bareng dan sebagainya. Riri sekarang lebih banyak menghabiskan
waktu bersama Putra.
“Ri, temani aku beli komik ya hari ini!” pinta Nina sedikit ragu karena melihat Riri membereskan meja dengan cepat.
“Maaf Nina, aku mau menemani Putra memesan kaos tim basket untuk anak
kelas X sekarang. Lain kali saja aku temani. Aku duluan ya,” kata Riri
menyunggingkan senyum dan buru-buru keluar kelas.
Wajah Nina tertunduk. Riri seolah melupakannya dan lebih mementingkan
Putra yang sudah jadi pacarnya. Dengan menghela nafas panjang Riri pun
meninggalkan kelas yang masih cukup ramai.
Nina memilih-milih komik yang berderet rapi di toko buku
langganannya. Dia teringat biasanya Riri juga ikut memilihkan komik yang
menarik untuk mereka beli. Nina menangis dan cepat-cepat memilih satu
komik kemudian membayarnya. Nina mengusap airmatanya, menunggu mamanya
yang akan menjemput di depan toko buku. Tiba-tiba Nina merasakan
kepalanya berat dan sakit yang tak tertahankan, belum sempat berpegangan
di tiang dekat tempatnya berdiri, Nina tak sadarkan diri. Mamanya yang
baru tiba, berteriak histeris melihat putrinya tergeletak tak berdaya di
depan toko buku.
***
Riri dan Putra baru tiba di rumah Nina yang sangat ramai. Bukan acara pesta atau syukuran. Namun…
“Nina… Bangun! Maafkan aku, aku tak tahu kamu punya tumor di otak, aku
tak tahu kalau kamu menderita. Akhir-akhir ini aku seolah melupakanmu
dan aku tak menemanimu ke toko buku kemarin. Aku sangat menyesal dengan
sikapku, Nina. Aku terlambat! Sahabat seperti apa aku ini. Hiks… Hiks…”
tangisan Riri memenuhi dan mengiringi suasana berkabung atas
meninggalnya Nina.
Mama Nina memeluk Riri yang histeris. Putra hanya terdiam, namun dia
tak mampu menahan air yang terjatuh dari kedua pelupuk matanya. Setelah
Riri agak tenang, mama Nina menyodorkan surat berwarna jingga kepada
Putra.
“Itu tante temukan di meja belajar Nina pagi tadi. Tante baca di
amplopnya bertuliskan untuk Putra,” kata Mama Nina yang matanya sembab
dengan wajah yang menyimpan berjuta kesedihan.
“Terima kasih tante,” ujar Putra menerima surat tersebut dan membacanya.
Dear Putra,
Selamat ya karena kamu dan Riri sudah bersatu. Kalian memang serasi dan
cocok sekali. Aku turut bahagia untuk kalian berdua. Kamu sudah
menemukan orang yang tepat untuk kamu cintai, Putra.
Aku menulis surat ini juga untuk memohon maaf sekali lagi atas
kelancanganku setahun yang lalu. Kamu sangat marah saat aku menyatakan
kalau aku menyayangimu lebih dari sayang seorang sahabat. Setelah itu
kita tak lagi akrab dan bersahabat, bahkan kamu tak mau menegurku. Aku
sangat menyesal Putra, menyesal atas sikapku dan perasaanku. Semoga
sekarang kamu sudah memaafkan aku.
Jaga Riri baik-baik ya, jangan kecewakan dia. Sekali lagi kukatakan aku
bahagia melihat kalian bersama walau awalnya aku merasakan cemburu dan
tak rela. Tapi, aku cukup sadar rasa cemburuku dan tak kerelaanku tidak
ada gunanya. Apalagi tanpa kamu dan Riri ketahui, sebenarnya aku adalah
gadis yang penyakitan. Ada tumor yang sudah satu tahun bersarang di
otakku. Itulah sebabnya kenapa aku sering tidak masuk sekolah dan keluar
dari tim basket. Maaf ya aku merahasiakan ini dari kalian.
“Doakan aku dan ikut ke pemakamanku jika benar aku akan meninggalkan
dunia ini ya Putra, aku ingin sekali saja kau memperhatikanku untuk yang
terakhir kalinya. Terima kasih ^_^
Sahabatmu, Nina
Putra melipat surat itu dan matanya semakin dibanjiri air bening.
Riri yang melihat Putra menangis menjadi heran. Keheranannya terjawab
tatkala dia selesai membaca surat yang dia ambil dari tangan Putra. Riri
pun menangis lagi dalam pelukan Putra.
Cerpen Karangan: Murni Oktarina
Blog: murnioktarina.blogspot.com