Kumpulan dari Cerpen Cinta Melayu.

Istrimu Cinta Terlarangku

“Mas….aku ingin berpisah dengannya” demikian pesan singkat yang baru saja dia kirim, masuk ke telephone genggam ku. Lama sekali aku diam, berpikir untuk merangkai kata sebagai balasan pesan sigkat yang kau kirim, aku tidak ingin jika balasan pesan singkat ku nanti akan memperburuk keadaan.
Sudah setahun lebih kita menjalin hubungan terlarang, hubungan yang dilarang oleh negara dan agama, berawal dari pertemuan yang tidak sengaja.


Sore itu setelah selesai jam kerja, seperti biasa teman-teman kantor mengajak berburu kopi, mulai dari warung lesehan pinggir jalan hingga kedai kopi kelas wahid di kota ini hampir semua pernah kami singgahi, memang kopi lah pengikat tali persahabatan kami.

“Ayo brow..!! buruan udah jam empat lebih nih!” kata Andre.
“Ntar dulu belum tak save nih!” kataku.
“Alah tinggalin aja kerjaan nggak ada abisnya, ntar kalo elu udah dikubur baru selesai ntu kerjaan” balas andre tak mau kalah.
“Oke-oke” akhirnya imanku goyah juga, segera ku matikan laptop ku, kuraih jaket andalan ku dan kami pun meluncur.

“Busyet lama banget gua nunggu sampai pantat gua kebakar” kata Hendrik, ternyata dia sudah menunggu di dalam mobil.
“Iya nih… si kuplek ini rajin banget udah habis jam kantor masih aja melototin layar komputer, ampe mukanya butek tuh” kata Andre sambil menyikut tanganku.
“Iya-iya sorry… kemana kita?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan agar aku terhindar dari siksaan mereka berdua.

“Kemana Ndre.. biasanya elu paling canggih kalau disuruh nentuin lokasi” kata Hendrik.
“Diponegoro” jawab Andre mantab.
“Ah gak asyik tempatnya” Aku coba protes.
“Eit… ntar dulu, ini bukan yang di Diponegoro kemarin, gue ada tempat baru brow” elak si Andre.
“Awas kalau nggak asyik kaya kemarin” ancamku.
“Siiip tenang aja” kata Andre enteng.
“Awas ambil kiri bentar lagi kita nyampe” kata Andre memperingatkan Hendrik yang mau ambil jalur kanan.

“Op… stop kita nyampe” kata Andre.
Akhirnya kita sampai di kedai kopi yang di maksud Andre, tidak terlalu besar untuk ukuran kota Surabaya, suasana nyaman langsung terpancar dari penataan ruang dan segala hal-hal artistik lainya, pengunjung masih sepi, mungkin kami yang terlalu sore atau memang kedai ini kurang pelanggan.

Kami segera mengambil tempat duduk yang paling strategis menurut kami, sudut ruangan, ya sudut ruangan, entah mengapa kami punya selera yang sama dalam menentukan tempat duduk di kedai kopi.

“Ingat peraturan pertama, dilarang mengeluarkan alat komunikasi dan sejenisnya” belum-belum Andre memperingatkan kami, memang kami pecinta kopi sejati, pecinta nongkrong sejati, kami sudah sepakat selama acara nongkrong dilarang keras untuk mengutak-atik alat komunikasi dan sejenisnya, kami tidak ingin acara nongkrong kami terkontaminasi oleh hal-hal lain, kami ingin menikmati acara nongkrong ini dengan sekhusyuk-khusyuknya.

“Brow…. Baristanya cakep…” kata Hendrik, memang teman kami yang satu ini paling jeli kalau urusan wanita cantik, mungkin sesuai dengan tugasnya di kantor sebagai seorang cos control dia di wajibkan jeli memenej pengeluaran kantor, hingga kejelianya ini di terapkan juga dalam kehidupan nyata.
“Yang mana?” tanya Andre penasaran.

“Yang tengah lah, masa yang pinggir, yang pinggir kan cowok semua” kata Hendrik. Tanpa sadar Aku pun terpengaruh oleh celotehan mereka berdua, dan jantungku berdetak kencang. Kulihat wajah yang begitu ku kenal, Ririn. Aku tidak mungkin salah, wajah yang sepuluh tahun silam selalu menghiasi setiap lamunanku, wajah yang selalu membuat ku tidur larut, aku masih ingat dulu aku tidak akan bisa tidur sebelum membuat sajak tentang dia, walau sajak itu tidak pernah terbaca olehnya, karena sajak itu tidak pernah kukirimkan padanya, bahkan sajak itu masih tersimpan rapi di buku diary ku.

“Oe…. malah ngelamun” kata Andre sambil menepuk pundaku.
“Aku kenal ama barista itu brow” kataku.
“Sumpeh lu” kata Andre dan Hendrik hampir bersamaan.
“Iya, dia satu Desa tapi lain Dusun sama Aku” kataku.
“Kok elu nggak pernah cerita? Berarti elu udah sering kesini? Wah curang Lu.. nggak setia kawan!” kata Hendrik mulai salah paham.

“Tenang dulu mas brow… aku tidak pernah cerita karena tidak ada yang perlu kuceritakan pada kalian, aku hanya sebatas kenal sama dia, masak semua kenalanku harus ku ceritakan semua pada kalian gak mungkin kan? Lagian aku juga baru tau kalo dia kerja di tempat ini” kataku menjelaskan pada mereka.
“Ooo.. begonon toh…” kata Andre.

“Jadi apa rencana kita selanjutnya?” kata Hendrik, rupanya dia sudah memikirkan strategi.
“Rencana kita tetap rencana awal, kita ngopi sambil nongkrong gak kurang gak lebih” kataku.
“Ah kupret lu!” kata Hendrik sepertinya dia kurang puas dengan jawaban ku tadi.
“Terus maunya apa sayang…?” kataku mencoba bercanda.
“Elu itu bener-bener bego atau pura-pura bego sih… ada cewek cakep di depan mata, elu udah kenal ya samperin lah kasih nomor HP ajak makan malam, katanya murid Arya Dwipangga?” kata Andre ikut menimpali.

“Bukan begitu mas brew… aku dengar dia sudah menikah, lagian mana boleh ngajak ngobrol barista yang sedang bekerja” elaku,
Kami tidak sadar kalau dari tadi pramusaji kedai kopi yang ingin menyodorkan menu menunggu dari tadi dan hampir setengah jam kami belum pesan apa-apa.
“Maaf mas mau pesan apa” tanya pramusaji meyadarkan kami.
“Capucino” jawab kami serentak.
“Oke capucino tiga apa lagi mas?” kata pramusaji itu berharap kami menambah pesanan kami.
“Sama pisang goreng tiga porsi sedang” jawabku.
“Siap mas… ditunggu sebentar ya?” kata pramusaji itu sambil beranjak pergi.

Belum sempat kami melanjutkan perdebatan kami, pramusaji yang tadi sudah kembali sambil membawakan pesanan kami tadi.

“Mas, sampeyan kenal sama mbak Ririn ya?” tanya pramusaji itu membuat mataku berbinar.
“Tetangga kampung” jawabku berharap dia mau memberi informasi lebih banyak lagi, dan aku menemukan caranya. Segera ku keluarkan ratusan ribu dari dompetku.
“Kembalianya buat sampeyan” kataku, dan ternyata jurus ini sangat manjur.
“Sebentar mas” kata pramusaji itu sambil kembali meninggalkan kami, kulihat di mengahampiri barista yang jadi topik pembicaraan kami tadi, pramusaji itu entah bercakap apa kemudian dia menunjuk ke arah kami dan sejurus kemudian, senyum sepuluh tahun silam kembali tergambar di hadapanku, kalau dulu senyum itu hanya ada dalam anganku kini senyum itu benar-benar nyata ditujukan padaku.

“Mas ada titipan dari mbak Ririn” kata pramusaji itu sambil menyerahkan lipatan kertas kecil.
“Hendra ya? Sorry aku sedang kerja jadi tidak bisa menyapamu secara langsung, jangan anggap aku sombong, bentar lagi ganti shift” tulisnya di kertas itu.

Aku coba memandang wajahnya sekali lagi senyum itu muncul dan ku balas senyum itu.
“Brow… kalau kalian mau balik, balik aja aku mau nunggu kafe ini tutup aku pingin ngobrol banyak sama tetanggaku” kataku.
“Oke-oke, jadi ceritanya mau kangen-kangenan nih?” kata Andre menggodaku.
“Kagak Cuma mau ngobrol aja sudah sepuluh tahun tidak bertemu brow, wajarlah kalau mau nanya-nanya kabar” kilahku.
“Sip kita cabut dulu ya…” kata Hendrik
“Lanjutkan” jawabku menirukan iklan politiknya pak SBY.

Dua temanku pun kembali pulang ke mess, Aku berpikir kalau aku menunggunya di dalam kafe ini sampai pergantian shift, alangakah tidak etisnya, kuputuskan menunggunya di tempat parkir.
Tak lama berselang wajah yang ku tunggu muncul juga, sepertinya dia sudah ganti baju, kami saling mendekat dan jabat tangan erat pun terjadi.

“Gimana kabarmu? berapa anakmu?” tanyaku memberondong bagai seorang polisi detasemen 88 memberondong teroris.
“Satu-satu kali nanyanya” katanya sambil tersenyum.
“Kayanya kita perlu tempat yang nyaman untuk ngobrol lebih lama” kataku.
“Di seberang jalan ada warung lesehan mungkin kita bisa kesana” katanya memberi usul.
“Ok” kataku singkat aku tidak mau membiarkan wanita yang sepuluh tahun silam sempat bertahta di hatiku ini berubah pikiran, momen ini harus ku gunakan sebaik mungkin.

Obrolan kami pun mengalir dengan begitu lancar, kadang aku tertawa kadang aku serius mendengarkan cerita- ceritanya.

“Ternyata kamu orang nya asyik ya Rin, sorry selama sepuluh tahun kebelakang aku sudah salah sangka padamu” kataku.
“Emang selama sepuluh tahun ke belakang sampean punya prasangka apa padaku?” tanyanya.
“Aku kira kamu orangnya jutek, sombong dan tidak mau bergaul sama aku” kataku.
“Mana buktinya” kata dia.
“Dulu ketika aku memandangmu kamu selalu memalingkan muka” kataku.
“Masa sih..?” katanya.
“Iya, dulu setiap kucoba memandangmu kamu selalu memalingkan mukamu, seperti melihat sampah” kataku mencoba mengingatkan memorinya.
“Maaf-maaf.. aku dulu selalu memalingkan muka setiap sampean memandangku bukan karena jijik seperti melihat sampah tapi aku takut jatuh cinta pada sampean hehehehehe…” katanya, walau di akhir kalimatnya dia tertawa tapi jawaban itu membuat hatiku bergetar, aku tahu jawaban itu spontan dan tidak di buat-buat sedangkan dia tertawa hanya untuk menutupi suasana agar terlihat seperti bercanda, entah karena aku berharap jawaban itu atau karena alasan lain aku jadi lebih percaya diri di banding sepuluh tahun yang lalu, dulu jangankan berbicara dengannya, menatap matanya saja aku tidak mampu.

Berawal dari pertemuan tidak sengaja itu akhirnya menyusul pertemuan-pertemuan berikutnya yang disengaja dan direncanakan, pertemuan yang terlarang, Karena kami sama-sama sudah berkeluarga.

“Maaf Rin Aku tidak bisa coment apa-apa” hanya itu yang sanggup ku ketik di HP ku dan ku kirimkan untuk membalas pesan singkatnya.

Mbolok Sitompul, pena tajam
Cerpen Karangan: Mbolok sitompul pena tajam
Facebook: Mbolok Sitompul

Istrimu Cinta Terlarangku Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kusen Almunium Lampung